Dukun
Togel Sakti,Dukun Pelet Ampuh,Dukun Togel Jitu,Gambar Togel Maut, Kisah
Togel Dukun Togel Alam Roh , Togel jitu dukun togel Sakti
DUKUN TOGEL SAKTI AMPUH SEJAGAD DUNIA TOGEL GHOIB DAN PELET SAKTI AMPUH
Ilmu Gaib Hikmah
Pesarean Gunung Kawi
Gunung
Kawi terletak pada ketinggian 2.860 meter dari permukaan laut, terletak
di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tepatnya di Kecamatan Wonosari,
sekitar 40 km sebelah barat Kota Malang. Dulu daerah ini disebut Ngajum.
Namanya berubah menjadi Wonosari karena di tempat ini terdapat obyek
wisata spiritual. Wono diartikan sebagai hutan, sedangkan Sari berarti
inti. Namun bagi warga setempat, Wonosari dimaksudkan sebagai pusat atau
tempat yang mendatangkan rezeki.
Kecamatan Wonosari
memiliki luas hampir 67 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 43
ribu jiwa. Tempat ini berkembang menjadi daerahtujuan wisata ziarah
sejak tahun 1980-an. Sebenarnya bukanlah Gunung Kawi-nya yang membuat
tempat ini terkenal, tetapi adanya sebuah kompleks pemakaman di lereng
selatan yang dikeramatkan, yaitu makam Eyang Kyai Zakaria alias Eyang
Jugo, dan Raden Mas Imam Sujono, alias Eyang Sujo. Penduduk setempat
menyebut area pemakaman tersebut dengan nama "Pesarean Gunung Kawi".
Pesarean
yang terletak di ketinggian sekitar 800 m ini walaupun
berada di lereng gunung, namun mudah dijangkau, karena selain jalannya
bagus, banyak angkutan umum yang menuju ke sana. Dari terminal Desa
Wonosari,
perjalanan diteruskan dengan berjalan mendaki menyusuri jalan bertangga
semen yang berjarak kira-kira 750 m. Sepanjang perjalanan mendaki ini
dapat dijumpai restoran, hotel, kios souvenir dan lapak-lapak yang
menjual perlengkapan ritual. Setelah melewati beberapa gerbang, di ujung
jalan didapati sebuah gapura, pintu masuk makam keramat. Makam yang
menjadi pusat dari kompleks Pesarean Gunung Kawi. Makam yang menjadi
magnet untuk menarik puluhan ribu orang datang setiap tahunnya.
Mitos Pesugihan
Gunung
Kawi memang dikenal sebagai tempat untuk mencari kekayaan (pesugihan).
Konon, barang siapa melakukan ritual dengan rasa kepasrahan dan
pengharapan yang tinggi maka akan terkabul permintaanya, terutama
menyangkut tentang kekayaan.
Mitos ini diyakini banyak orang, terutama oleh mereka yang sudah merasakan "berkah" berziarah ke Gunung Kawi.
Namun
bagi kalangan rasionalis-positivis, hal ini merupakan isapan jempol
belaka. Mitos dalam bahasa sehari-hari diartikan sebagai cerita bohong,
kepalsuan,
dan hal-hal yang berbau dongeng (tahayul). Dalam bahasa
Inggris, myth yang mengadopsi bahasa Latin mythus berarti penuturan
khayali belaka.
Antropolog memandang mitos sebagai
sesuatu yang diperlukan manusia untuk menjelaskan alam lingkungan di
sekitarnya, dan juga sejarah masa lampaunya. Dalam hal ini, mitos
dianggap sebagai semacam pelukisan atas kenyataan dalam bentuk yang
disederhanakan sehingga dipahami oleh awam (Ruslani, 2006: 5). Namun
mitos, bagi kalangan penganut strukturalisme-fungsional juga dianggap
penting karena berfungsi sebagai penyedia rasa makna hidup yang membuat
orang yang bersangkutan tidak menjadi sia-sia hidupnya. Perasaan bahwa
hidup ini
berguna dan bertujuan lebih tinggi daripada pengalaman keseharian merupakan unsur penting dalam kebahagiaan.
Biasanya
lonjakan masyarakat yang melakukan ritual terjadi pada hari Jumat Legi (
hari pemakaman Eyang Jugo) dan tanggal 12 bulan Suro (memperingati
wafatnya Eyang Sujo). Ritual dilakukan dengan meletakkan sesaji,
membakar dupa, dan bersemedi selama berjam-jam, berhari-hari, bahkan
hingga berbulan-bulan.
Di dalam bangunan makam,
pengunjung tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak baik serta
disarankan untuk mandi keramas sebelum berdoa di depan makam. Hal ini
menunjukkan simbol bahwa pengunjung harus
suci lahir dan batin sebelum berdoa.
Selain
pesarean sebagai fokus utama tujuan para pengunjung, terdapat
tempat-tempat lain yang dikunjungi karena 'dikeramatkan' dan dipercaya
mempunyai kekuatan magis untuk mendatangakan keberuntungan,
antara lain:
1. Rumah Padepokan Eyang Sujo
Rumah
padepokan ini semula dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang Sujo
yang bernama Ki Maridun. Di tempat ini terdapat berbagai peninggalan
yang dikeramatkan milik Eyang Sujo, antara lain adalah bantal dan guling
yang berbahan batang pohon kelapa,serta tombak pusaka semasa perang
Diponegoro.
2. Guci Kuno
Dua buah
guci kuno merupakan peninggalan Eyang Jugo. Pada jaman dulu guci kuno
ini dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan. Masyarakat sering
menyebutnya dengan nama 'janjam'. Mungkin ingin menganalogkan dengan
air zamzam dari Padang Arafah yang memiliki aneka khasiat. Guci kuno ini
sekarang diletakkan di samping kiri
pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini akan membikin seseorang menjadi awet muda.
3. Pohon Dewandaru
Di
area pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan
keberuntungan. Pohon ini disebut pohon dewandaru, pohon kesabaran. Pohon
yang terasuk jenis cereme Belanda ini oleh orang Tionghoa disebut
sebagai shian-to atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang Sujo
menanam
pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman. Untuk mendapat 'simbol
perantara kekayaan', para peziarah menunggu dahan, buah dan daun jatuh
dari pohon. Begitu ada yang jatuh, mereka langsung berebut. Untuk
memanfaatkannya sebagai azimat, biasanya daun
itu dibungkus dengan selembar uang kemudian disimpan ke dalam dompet.
Namun,
untuk mendapatkan daun dan buah dewandaru diperlukan kesabaran.
Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan.
Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan datang lagi ke tempat
ini untuk melakukan syukuran.
Pejuang Diponegoro
Siapakah
sesungguhnya Eyang Jugo dan Eyang Sujo, yang dimakamkan dalam satu
liang lahat di pesarean Gunung Kawi ini? Menurut Soeryowidagdo (1989),
Eyang Jugo atau Kyai Zakaria II dan Eyang Sujo atau Raden Mas Iman
Sudjono adalah bhayangkara terdekat Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1830
saat perjuangan terpecah belah oleh siasat kompeni, dan Pangeran
Diponegoro tertangkap kemudian diasingkan ke Makasar, Eyang Jugo dan
Eyang Sujo mengasingkan diri ke
wilayah Gunung Kawi ini.
Semenjak
itu mereka berdua tidak lagi berjuang dengan mengangkat senjata, tetapi
mengubah perjuangan melalui pendidikan. Kedua mantan bhayangkara
balatentara Pangeran Diponegoro ini, selain berdakwah agama islam dan
mengajarkan ajaran moral kejawen, juga mengajarkan cara bercocok tanam,
pengobatan, olah kanuragan serta ketrampilan lain yang berguna bagi
penduduk setempat. Perbuatan dan karya mereka sangat dihargai oleh
penduduk di daerah tersebut, sehingga banyak masyarakat dari daerah
kabupaten Malang dan Blitar datang ke padepokan mereka untuk menjadi
murid atau pengikutnya.
Setelah Eyang Jugo meninggal
tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sujo tahun 1876, para murid dan
pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun, para keturunan, pengikut
dan juga para peziarah lain datang ke
makam mereka melakukan
peringatan. Setiap malam Jumat Legi, malam meninggalnya Eyang Jugo, dan
juga peringatan wafatnya Eyang Sujosetiap tanggal 1 bulan Suro
(muharram), di tempat ini selalu diadakan perayaan tahlil akbar dan
upacara ritual lainnya. Upacara ini
biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan para keturunan Eyang Sujo.
Tidak
ada persyaratan khusus untuk berziarah ke tempat ini, hanya membawa
bunga sesaji, dan menyisipkan uang secara sukarela. Namun para peziarah
yakin, semakin banyak mengeluarkan uang atau sesaji, semakin banyak
berkah yang akan didapat. Untuk masuk ke makam
keramat, para peziarah bersikap seperti hendak menghadap raja, mereka
berjalan dengan lutut.
Hingga
dewasa ini pesarean tersebut telah banyak dikunjungi oleh berbagai
kalangan dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka bukan saja berasal
dari daerah Malang, Surabaya, atau daerah lain yang berdekatan dengan
lokasi pesarean, tetapi juga dari berbagai penjuru
tanah air.
Heterogenitas pengunjung seperti ini mengindikasikan bahwa sosok kedua
tokoh ini adalah tokoh yang kharismatik dan populis.
Namun
di sisi lain, motif para pengunjung yang datang ke pesarean ini\ pun
sangat beragam pula. Ada yang hanya sekedar berwisata, mendoakan
leluhur, melakukan penelitian ilmiah, dan yang paling umum adalah
kunjungan ziarah untuk memanjatkan doa agar keinginan lekas terkabul.
Ritual dalam Komodifikasi Budaya
Pada
setiap malam Satu Suro (Muharram), area Pesarean Gunung Kawi dikunjungi
oleh ribuan orang peziarah dari berbagai kota dan daerah telah
berdatangan sejak sore hari. Mereka memenuhi penginapan- penginapan yang
memang banyak terdapat di daerah sekitar pesarean
(makam). Sambil beristirahat, mereka menunggu saat datangnya tengah malam di mana berbagai upacara ritual akan diselenggarakan.
Parapedagang
bunga, kemenyan, lilin, hio (dupa) dan perlengkapan sesaji lainnya
sibuk melayani para peziarah. Sementara itu beberapa ibu-ibu menggoreng
ratusan ekor ayam utuh yang dipesan para peziarah untuk
upacara sesaji malam harinya.
Seiring
dengan itu pada keesokan harinya diadakan kirab sesaji dan pembakaran
patung simbol sangkala (Bathara Kala). Bencana yang terus menerus
melanda bumi Indonesia membuat masyarakat prihatin. Sikapprihatin inipun
diungkapkan dalam prosesi kirab sesaji di pesarean
Eyang Jugo dan
Eyang Sujo melalui upacara pembakaran patung sangkala atau ogoh-ogoh.
Patung sangkala atau ogoh-ogoh, dikenal sebagai simbol keangkaramurkaan
dan malapetaka. Dengan dibakarnya patung ini, diharapkan sifat
keangkaramurkaan dan malapetaka bisa lenyap dari
bumi pertiwi.
Prosesi kirab ini diikuti oleh seluruh elemen
masyarakat
Wonosari, diawali dengan kirab sesaji dari lapangan desa setempat
kemudian diarak berjalan menuju ke pesarean. Di akhir prosesi, patung
sangkala dibakar oleh Kepala Desa Wonosari, sementara pengusung patung,
yang memakai pakaian serba hitam, menari-nari layaknya kesetanan.
Melihat
potret suasana tersebut, Pesarean Gunung Kawi lebih mirip pasar raya
dari pada sebuah kompleks pemakaman. Pertunjukan wayang kulit, musik
dangdut, serta barongsai pun ikut meramaikan suasana. Kesan seram,
angker, dan tempat mencari kekayaan yang seperti yang dibayangkan, pada
saat itu seolah tenggelam oleh hingar-bingar para pengunjung.
Ketika
zaman berubah, motif spiritual juga terus bergeser. Dengan dalih
estetika, nampaknya pihak pemerintah daerah setempat merasa perubahan
`tampilan' upacara ritual sudah merupakan kebutuhan. Dengan
diciptakannya upacara ritual yang semakin meriah.
Banyak yang
bernilai jual di sana-sini. Fungsi latennya sudah bisa ditebak, yaitu
agar upacara ritual bisa lebih enak ditonton, berselera pasar, dan
selanjutnya bisa mendongkrak pendapatan daerah (marketable).
Tak
peduli apakah kreasi ini meninggalkan sisi nilai-nilai ritual atau
mengabaikan makna bagi komunitas pemiliknya. Kondisi semacam ini menurut
Theodore Adorno dan Horkheimer bisa disebut sebagai
komodifikasi
budaya (Agger, 2006: 179). Kedua tokoh aliran sosiologi kritis asal
Jerman ini melihat bahwa budaya di era kapital serta industrialisasi ini
telah menjelma sebagai sebuah komoditas. Artinya, suatu fenomena budaya
akan diproduksi terus menerus dan dimodifikasi untuk memperoleh
keuntungan.
Etnis Tionghoa dan Pesan Multikultural
Dengan
berjalannya waktu, sekarang boleh dibilang lebih banyak masyarakat
Tionghoa yang datang berziarah daripada masyarakat Jawa sendiri. Bahkan
dalam hari-hari tertentu, seperti hari raya Imlek dan Tahun Baru Islam,
jumlah masyarakat Tionghoa yang datang berziarah
jauh lebih banyak daripada masyarakat Jawa sendiri.
Keikutsertaan
warga Tionghoa dalam lingkungan perziarahan di Pesarean Gunung Kawi
sebenarnya dimulai dari seorang yang bernama Tan Kie Lam.
Pada
waktu itu ia sempat diobati dan disembuhkan oleh Eyang Sujo berkat air
guci wasiat peninggalan Eyang Jugo. Kemudian, Tan Kie Lam pun ikut
berguru di padepokan gunung kawi dan tinggal di sana. Sebagai seorang
Tionghoa, ia mungkin merasa kurang pas dengan ikut cara ritual
masyarakat Jawa. Akhirnya, ia mendirikan sebuah "kelenteng kecil"-nya
sendiri untuk bersembahyang dan untuk menghormati kedua almarhum
gurunya.
Tetapi yang membuat Pesarean Gunung Kawi ini
terkenal adalah seorang Tionghoa yang kemudian menjadi pediri perusahaan
rokok Bentoel - sebuah perusahaan rokok besar yang pernah berdiri di
Malang. Konon, sang pendiri PT. Bentoel ini, ketika itu datang untuk
berguru olah-
kanuragan di padepokan Gunung Kawi. Tetapi oleh sang
juru kunci niat itu ditolak dengan alasan bahwa ia tidak pantas menjadi
seorang pendekar, tetapi lebih cocok menjadi pedagang saja. Sang juru
kunci lantas menyarankan ia pulang saja, sambil membekalinya dua batang
bentoel (umbi-umbian).
Sesampai di rumah, ia berpikir bahwa
oleh-oleh dua batang bentoel ini pastipunya arti. Akhirnya, ia
menggunakan Cap Bentoel sebagai merk usahanya. Berkat kegigihan dan
kerja kerasnya, perusahan rokok Cap Bentoel maju pesat. Dan sebagai
tanda terima kasih dan baktinya terhadap Eyang Jugo dan Eyang Sudjo, ia
membagun jalan dan prasarana-prasarana di kompleks Pesarean Gunung Kawi
tersebut.
Rupanya, kabar hubungan antara kesuksesan Rokok
Bentoel dan pesarean Gunung Kawi dengan cepat menyebar luas di kalangan
masyarakat
Tionghoa. Akibatnya banyak masyarakat
Tionghoa berbondong-bondong datang ke sana. Selain mengikuti upacara
ritual standar Islam-Kejawenn yang dilakukan oleh para juru kunci makam,
para peziarah Tionghoa juga melakukan ritual tionghoanya. Segera saja
klenteng kecil buatan Tan Kie Lam dirasa tak bisa lagi menampung
membanjirnya kaum Tionghoa yang ingin bersembahyang. Untuk itu
dibangunlah tiga buah kelenteng kecil yang letaknya lebih dekat lagi
dengan makam.
Di ketiga kelenteng ini diisi oleh Dewa Bumi Ti
Kong, Dewi Kwan Im, dan kelenteng khusus untuk Ciam-si (ramalan). Sering
terlihat lilin-lilin merah besar yang tingginya 2m atau lebih
berjejalan memenuhi kelenteng ini. Di atas sampul plastik lilin-lilin
tersebut biasanya tertulis permohonan dari perusahaan atau keluarga
tertentu. Sedangkan di areal pesarean dibangun sebuah masjid yang cukup
megah, yang menurut petugas pemandu merupakan sumbangan seorang
konglomerat di Indonesia.
Memang, kecuali dalam pendopo
makam, di hampir semua tempat di kompleks makam yang dikeramatkan oleh
masyarakat Jawa, seperti Padepokan Eyang Iman Sujono, bekas rumah
tinggal Tan Kie Lam, dan pemandian Sumber Manggis, semuanya juga
diletakkan altar ritulal khas
Tionghoa. Bahkan kedua Eyang
mendapat julukan dalam bahasa Tionghoa. Eyang Djego disebut Taw Low She
atau Guru Besar Pertama, sedangkan Djie Low She atau Guru Besar Kedua
adalah sebutan untuk Eyang Iman Sujo.
Hasil akhirnya,
sekarang kompleks pesarean Gunung Kawi menjadi tempat percampuran budaya
dan ritual khas Jawa dan Tionghoa. Bagi mereka yang pertama kali datang
ke gunung kawi pastilah akan mengkerutkan
dahi melihat apa yang terjadi di sini.
Adalah
menjadi pemandangan rutin di kelenteng Gunung Kawi bila melihat seorang
Jawa bersarung dan bertopi haji dengan khitmatnya bersoja dengan hio di
tangan, sementara di sampingnya seorang ibu berkerudung sedang dengan
penuh konsentrasi mengocok bambu ramalan
(ciam-si). Dan kalau
diperhatikan, ternyata para `petugas kelenteng' gunung Kawi ini pun
ternyata kebanyakan adalah warga Jawa.
Pada setiap
upacara perayaan ritual, setelah lepas malam, para peziarah Jawa dan
Tionghoa larut dalam kegiatannya. Mereka berjalan berlawanan arah jarum
jam mengelilingi pendopo sebanyak tujuh kali, dengan setiap saat
berhenti di depan pintu sisi utara, timur, selatan dan barat, sambil
menghormat ke dalam makam.
Sementara itu, di dalam
pendopo makam dipenuhi para peziarah Jawa dan Tionghoa yang memiliki
niatan khusus. Sambil membawa bunga dan kemenyan, mereka dengan sabar
menunggu giliran didoakan di depan nisan oleh para asisten juru kunci.
Setelah doa dalam bahasa Jawa dan
Arab digumamkan, biasanya para
peziarah akan mendapat "bunga layon" (bunga layu) yang sudah ditaburkan
dari makam. Khabarnya bunga tersebut memiliki khasiat pembawa rezeki dan
pengobatan. Uniknya, banyak peziarah yang menempatkan bunga tersebut di
kantong merah dan kuning yang bergambar lambang Pakua dan bertuliskan
huruf Tionghoa.
Yang merah cocok untuk ditempatkan di
tempat usaha, sedangkan yang kuning di bawa pulang untuk digantung di
dalam rumah. Berbaurnya unsur budaya dalam sebuah ritual antara budaya
Jawa dan Tionghoa ini terlihat mencolok lagi pada peringatan Malam Satu
Suro lalu. Dalam kompleks pemakaman tersebut, tempat pertunjukan wayang
kulit dengan lakon tertentu sering dipesan oleh warga Tionghoa sebagai
hajat nadarnya. Sedangkan pada acara yang sama beberapa warga masyarakat
Jawa berpartisipasi memberikan angpau atau malah menjadi bagian dari
penari barongsai yang sedang beraksi.
Dalam kacamata
budaya, ada hal yang menarik dalam fenomena ini. Mayoritas pelaku ritual
adalah penduduk asli yang berpakaian adat Jawa Timuran sambil membawa
tandu-tandu berisisi aneka sesembahan, namun di tengah iring-iringan
warga Jawa dan Tionghoa yang juga diiringi tarian Jawa ini menyelip juga
barongsai, tarian singa khas Tionghoa. Entah apakah peristiwa semacam
ini pernah terlintas di benak oleh Eyang Jugo dan Eyang Iman Sujo semasa
hidupnya. Tapi yang jelas, upacara semacam ini dapat menjadi pemersatu
antaretnis yang membawa pesan multikultural, yakni kerukunan dan
perdamaian
Banyak yg anaknya menjadi keterbelakangan mental sebagai tumbal ketika mengambil pesugihan di gunung kawi ini.
8
komentar:
Apakah bisa diberikan bukti ritual pesugihan yang dilakukan orang2 di pesarehan gunung kawi? sehingga menyebabkan banyak anak para pelaku ritual yang menjadi tumbal dan menjadi terbelakang mentalnya?
Yang saya tahu pesarehan gunung kawi adalah makam seorang penyebar agama yang berbudi luhur, dan para pengunjung berziarah dengan memanjatkan doa, dan mungkin ada beberapa yang sesuai dengan keyakinan mereka melakukan ritual keliling makam...
trus kenapa harus ada tumbal jika tidak melakukan perjanjian dengan jin atau setan?
dan coba saja dilihat apakah para pengunjung makam bisa tiba2 menjadi kaya tanpa bekerja dan berusaha?